Islam adalah agama yang memiliki ajaran moderat. Sebab, Islam mengajarkan umatnya untuk bersikap adil, berimbang, dan proporsional. Ajaran moderat ini meliputi seluruh aspek kehidupan muslim, baik dalam beribadah, bermuamalah, maupun bekerja. Sebagai contoh, Islam melalui – Al-Qur’an – memerintahkan pemeluknya untuk mencari karunia Allah di akhirat, namun pada saat yang sama mereka juga harus memperhatikan kehidupan dunia.
Firman Allah swt:
وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ
“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash [28] ayat 77).
Ajaran Moderat juga dapat ditemukan dalam ayat-ayat lain. Misalnya, surah al-Baqarah [2] ayat 143 yang berbunyi:
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ ۗوَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah [2] ayat 143)
Dalam konteks kekinian, kata ummatan wasathan pada surah al-Baqarah [2] ayat 143 sering diterjemahkan dengan “umat pertengahan” yang bermakna umat moderat. Lantas apakah benar demikian? Bagaimana selama ini ulama-ulama tafsir memaknai ummatan wasathan? Dalam rangka menjawab pertanyaan tersebut, artikel ini akan menjelaskan secara singkat makna ummatan wasathan menurut ulama tafsir dari masa ke masa.
Penafsiran pertama diambil dari kitab Tafsir al-Kabir (hlm. 145)atau yang lebih dikenal Tafsir Muqatil bin Sulayman karya Muqatil bin Sulayman bin Bashīr al-Balkhī al-Marūzī al-Khurāsānī (w. 150 H/767 M). Kitab ini dianggap sebagai kitab tafsir tertua di kalangan muslim. Dalam tafsirnya, Muqatil mengartikan ummatan wasathan dengan makna umat yang adil (‘adlan). Keadilan di sini maksudnya adalah umat nabi Muhammad merupakan saksi yang adil di antara manusia di akhirat kelak.
Imam al-Thabari (w. 923) dalam tafsirnya, Jami’ al-Bayan fi Takwil al-Qur’an (hlm. 142), menyebutkan bahwa makna wasathan adalah bagian yang berada di antara dua sisi, yakni pertengahan. Baginya, kata ummatan wasathan bermakna umat nabi Muhammad adalah umat yang moderat dalam beragama, tidak berlebihan dan tidak pula kekurangan (la gulwun wa la taqshirun). Selain itu, al-Thabari turut mengutip beberapa riwayat yang menyatakan wasathan bermakan adil.
Pandangan senada juga disampaikan oleh Abu al-Laits al-Samarqandi dalam tafsirnya Bahru al-‘Ulum (hlm. 100). Ia berpendapat bahwa makna ummatan wasathan ialah umat yang adil dan terbaik. Sebab, dalam kata wasathan terkandung makna adil dan terbaik (khiyaruhum wa a’daluhum). Menurutnya, ayat ini berbicara mengenai umat nabi Muhammad sebagai saksi yang adil di akhirat kelak bagi seluruh manusia.
Sedangkan al-Zamakhsyari (w. 538 H) dalam kitabnya al-Kasysyaf ‘an Haqaiq gawamid al-Tanzil menyatakan makna ummatan wasathan ada dua, yakni pertengahan dan adil. Artinya, umat nabi Muhammad memiliki sifat moderat dan adil. Moderat di sini maksudnya adalah tidak condong kepada satu dari dua sisi. Inilah yang menjadi modal mereka sebagai saksi bagi seluruh umat-umat terdahulu yang menyangsikan sampainya risalah nabi kepada mereka.
Berkenaan dengan posisi umat nabi Muhammad sebagai saksi, al-Zamakhsyari menceritakan secara singkat, “Sesungguhnya pada hari kiamat umat-umat terdahulu menyangsikan datangnya risalah para nabi. Kemudian Allah mendatangkan umat nabi Muhammad sebagai saksi agar mereka menyadari kesalahan penyangsian tersebut. Umat Islam berkata, ‘sungguh para nabi telah menyampaikan risalah dan ini tertuang dalam kitab suci Al-Qur’an yang disampaikan melalui lisan nabi Muhammad saw’.”
Pendapat yang tidak jauh berbeda juga disampaikan oleh Imam al-Qurthubi (w. 671 H) dalam tafsirnya al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Menurutnya, makna ummatan washatan adalah umat yang moderat (pertengahan), adil, dan terbaik (pilihan). Ia berkata, sebagaimana Allah telah menjadikan Kakbah sebagai titik pertengahan (pusat) bumi, seperti itu pula Allah menjadikan umat nabi Muhammad sebagai umat pertengahan yang derajatnya di bawah para nabi dan di atas sekalian umat manusia.
Penafsiran seperti al-Qurthubi diikuti oleh mayoritas ulama tafsir era pertengahan, mulai dari Mafatih al-Ghaib karya Fakhr al-Din al-Razi (w. 1210 H) hingga Tafsir Jalalain karya Jalaluddin al-Mahalli (w. 1459 H) dan Jalaluddin al-Suyuti (w. 1505 H). Tafsir-tafsir ini mengindikasikan bahwa makna ummatan wasathan adalah umat yang adil, moderat, dan terbaik. Keserupaan penafsiran tersebut disebabkan keterhubungan karya mereka secara genealogis.
Penafsiran ulama tafsir klasik-pertengahan di atas turut diadopsi oleh mufasir-mufasir Indonesia. Misalnya, Syekh Nawawi al-Bantani dalam tafsirnya Marah Labid li Kasyf Ma’na al-Qur’an al-Majid (hlm. 49) memaknai ummatan wasathan dengan arti umat adil dan terbaik yang terpuji karena ilmu dan amalnya. Inilah modal mereka untuk menjadi saksi bagi seluruh manusia di akhirat kelak tentang kebenaran penyampaian risalah oleh para nabi.
Mufasir Indonesia lain yang menafsirkan ummatan wasathan sebagai umat moderat adalah Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah (jilid 1, hlm. 343). Secara konkret ia menafsirkan, “Dan demikian pula Kami menjadikan kamu wahai umat Islam ummatan wasathan (pertengahan) moderat dan teladan sehingga dengan demikian keberadaan kamu dalam posisi pertengahan itu, sesuai dengan Kakbah yang berada di posisi pertengahan pula..”
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa makna ummatan wasathan ada tiga, yaitu; pertengahan (moderat), adil, dan terbaik (pilihan). Satu hal yang patut ditadabburi dari surah al-Baqarah [2] ayat 143 di atas selain Allah telah menjadikan umat nabi Muhammad sebagai umat terbaik, moderat, dan adil, yakni apakah sudah kita sebagai umat Islam berusaha mewujudkan “label” tersebut pada diri kita semua? Wallahi a’lam.